Oleh: Dian Yuniar (Pengurus MPS PCM Ngagel)

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya, mungkin itu peribahasa yang tepat untuk menggambarkan budaya dan tradisi yang dilakukan oleh negara-negara di dunia dalam menyambut bulan Ramadan.

Kali ini cerita datang dari negeri sungai Nil yaitu Sudan, yang mana Sudan merupakan negara yang terletak di benua Afrika. Negara yang dijuluki Negeri Dua Nil karena letak bertemunya dua Sungai Nil, yaitu Nil Biru dan Nil Putih ini memiliki suhu stabil 40° Celcius setiap bulan Ramadan.

Dari mayoritas masyarakat Sudan yang memeluk agama Islam, mereka benar-benar diuji di bulan Ramadan, betapa tidak, mereka diharuskan menjalankan ibadah puasa di atas suhu 40° Celsius, dan total lamanya berpuasa sekitar 13 jam. Mulai azan Subuh pukul 05.00 hingga azan Magrib berkumandang sekitar pukul 19.30.

Meski demikian, ketika bulan Ramadan terasa kental sekali suasana Islamnya, mirip seperti di Indonesia, berlomba-lomba menyajikan makanan dan minuman berbuka yang beragam nikmatnya, hanya bedanya jika di Indonesia sajian makanan dan minuman berbuka berada di atas meja makan untuk keluarga masing-masing, nah di Sudan, makanan dan minuman berbuka digelar di depan rumah mereka, tujuannya untuk mengajak para musafir yang lewat agar mau berbuka bersama, masyaAllah.

Cara mereka mengajak para musafir berbuka pun unik, layaknya begal di Indonesia, hanya bedanya jika di Indonesia begal erat kaitannya dengan kejahatan perampasan kendaraan, di Sudan begalnya adalah cara untuk mengajak para musafir berbuka bersama, mereka menghadang dan menghentikan kendaraan yang jadi target, menepikannya dan menyuruh penumpang di dalam kendaraan untuk keluar dan berbuka bersama keluarga mereka di depan rumah dimana sudah tersaji aneka makanan dan minuman.

Parade kudapan khas Sudan pun berada pada barisan menu yang disediakan oleh pemilik rumah. Mulai dari balakh (kurma yang dikeringkan), atau balela (kudapan dari kacang-kacangan).

Sementara untuk minuman biasanya disediakan karkade (teh dari bunga rosela), dan khulmur (minuman khas Sudan) serta ardib (asem).

Selepas berbuka puasa bersama, mereka tak bergegas pamit untuk pulang, melainkan lanjut ke kegiatan berikutnya yaitu sholat berjamaah mulai dari sholat maghrib hingga sholat tarawih berjamaah.

Dampak dari pembegalan itu adalah  terjalinnya persahabatan bahkan persaudaraan berkat acara buka bersama tersebut sehingga tali silaturahmi tetap terjalin bahkan bertambah.

Tradisi “begal” di bulan Ramadan ini telah dilakukan oleh masyarakat Sudan sejak lama. Mereka meyakini bahwa bulan yang penuh berkah itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai bulan amal dan ibadah, kaya atau miskin bukan tolok ukur untuk bersedekah, demikian pula dengan “cara” bersedekah yang mereka lakukan.

Mungkin kalo ingin merasakan suasana pembegalan di bulan Ramadan harus ke Sudan dulu, karena di Indonesia tidak ada suasana seperti itu, bahkan di negara-negara lain pun mungkin juga tidak ditemui “begal” di bulan Ramadan.

Hikmah yang bisa dipetik dari “begal ala Sudan” ini adalah “tidak perlu harus kaya harta untuk bisa bersedekah, yang utama adalah kaya hati”. Semoga bermanfaat. (*)

Shares: