Oleh: Dian Yuniar
(Aktivis Muhammadiyah Ngagel)
Sekolah adalah rumah kedua bagi setiap anak di jagat raya, dan guru adalah orang tua kedua bagi anak-anak di sekolah. Bahkan terkadang tidak jarang pula bahwa guru menjadi orang tua bagi anak-anak yang tidak bersekolah.
Pastilah setiap guru akan mendidik yang baik-baik kepada setiap anak didiknya, entah itu ilmu pengetahuan umum maupun ilmu agama yang erat kaitannya dengan pembentukan karakter atau budi pekerti.
Sementara budi pekerti itu sendiri adalah implementasi dari akhlak setiap individu, dimana budi pekerti seseorang menjadi baik jika akhlak nya baik, dan akan menjadi buruk jika akhlaknya buruk. Akhlak itu akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan seseorang terhadap seseorang yang lain. Pendidikan akhlak sendiri didapat dari dua sunber, pertama dari ilmu agama yang diajarkan oleh orang tua dan guru, kedua dari lingkungan, baik lingkungan tempat tinggal maupun sekolah.
Tetapi entah salah siapa, terkadang kita dikejutkan dengan peristiwa yang nyeleneh dan bahkan tidak berperikemanusiaan. Bukan karena tidak ada pendidikan akhlak di sekolah, tetapi lebih kepada tidak adanya pengendalian hawa nafsu dari tiap individu.
Seperti yang terjadi di Magelang baru-baru ini, miris, sedih, peristiwa pembunuhan terhadap pelajar SMP 2 Grabag Magelang (03/08) atas nama Wahid yang dilakukan oleh teman sekolahnya sendiri. Persoalannya sangat sepele, hanya karena gadget. Karena nafsu ingin memiliki ponsel teman sekelas, Ilham terekam oleh CCTV sekolah tengah mencomot ponsel milik Wahid, setelah si empunya ponsel melaporkan kepada gurunya bahwa barang miliknya itu hilang di kelas. Merasa malu dan tidak terima, hingga mendendam, Ilham mendatangi rumah Wahid dan mengajaknya keluar rumah dengan alasan tugas sekolah, tetapi sampai keesokan harinya (04/08) Wahid tak kunjung pulang ke rumah, tahu-tahu ditemukan sudah tidak bernyawa di kebun kopi dalam keadaan leher tergorok.
Kalau secara nalar, tidak mungkin perbuatan sadis itu dilakukan oleh pelajar SMP, tetapi sungguh, inilah kenyataan bahwa kejahatan yang telah direncanakan itu bisa dilakukan oleh siapa saja, bahkan oleh anak di bawah umur sekalipun. Kembali lagi kepada akhklak yang diajarkan kepadanya, kebiasaan-kebiasaan yang dialaminya terutama di lingkungan tempat tinggalnya, bagaimana cara menyikapi perbuatan jahat yang ketahuan. Malu itu pasti, merasa diri tampak buruk karena ketahuan telah melakukan kejahatan. Tetapi mendendam, adalah sifat dasar yang dibentuk dari hawa nafsu yang tidak dikendalikan.
Seperti firman Allah SWT yang artinya:
” Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan ” (QS Sad ayat 26)
Akibat yang timbul dari mengikuti hawa nafsu telah begitu banyak digambarkan dalam kehidupan sehari-hari yang terkadang kita tidak memperhatikan, seperti iri dan dengki yang menjadi pencetus fitnah (berkaitan dengan jabatan), atau membuat seseorang itu menjadi pencuri (berkaitan dengan keinginan memiliki barang orang lain) dan masih banyak lagi. Yang mana semua keburukan itu bisa mencelakakan bagi setiap individu.
Kecuali yang bisa mengendalikan hawa nafsunya, maka akan terhindar dari perbuatan buruk, bahkan Rosulullah Muhammad SAW mengibaratkan bahwa orang yang bisa mengendalikan hawa nafsunya adalah orang yang kuat. Seperti diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah orang yang kuat adalah pandai bergulat, tapi orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan nafsunya ketika ia marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Semoga bermanfaat.