NGAGELMU.ID – Isu tentang hisab dan perubahan waktu shubuh menjadi perhatian yang tertuju pada Muhammadiyah. Isu hisab khususnya akan selalu hangat menjelang bulan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Mengapa? Karena seringkali antara Muhammadiyah dan pemerintah terjadi perbedaan.

Demikian petikan materi yang disampaikan Adi Damanduri MS saat mengawali materi Metode Hisab dalam Muhammadiyah dan Perubahan Waktu Shalat Shubuh pada kegiatan Baitul Arqam Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Ngagel di venue SMA Muhammadiyah 2 Surabaya (Smamda), Sabtu (16/4/2022).

“Karena itulah penting bagi warga Muhammadiyah mengetahui mengapa perbedaan itu terjadi,” ujarnya.

Menurutnya, dalam menentukan bulan Qamariah baru, Muhammadiyah berpedoman pada hisab hakiki wujudul hilal, yaitu bulan baru dimulai apabila memenuhi tiga kriteria secara menyeluruh.

Ketiga kriteria tersebut, lanjutnya, adalah telah terjadi ijtimak atau konjungsi, ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat terbenamnya matahari, piringan atas bulan berada di atas ufuk.

“Jika ada salah satu dari ketiga kriteria tersebut yang tidak terpenuhi, maka belum bisa dikatakan masuk bulan baru,” paparnya.

Sementara itu, lanjut dia, untuk menentukan waktu shalat Shubuh dimulai dari surutnya cahaya bintang-bintang di langit atau perubahan dari gelap ke terang.

”Praktisnya, pada saat zenit matahari hari 90º + standar waktu shubuh, untuk Indonesia standar yang digunakan adalah 20º di bawah horizon, jadi jarak zenitnya menjadi 90º + 20º = 110º,” jelasnya.

Sedangkan untuk Muhammadiyah sendiri, menurutnya, melalui Munas Tarjih ke-31 yang diadakan pada 2020 melalui media dalam jaringan (daring) telah menetapkan bahwa sudut kedalaman matahari untuk dijadikan standar awal waktu shubuh adalah -18°. Sementara pemerintah sampai hari ini belum mengubah sudut kedalaman, yaitu -18°.

Selanjutnya, ia juga menerangkan ada cara mengamati awal waktu shubuh atau mendeteksi hadirnya cahaya fajar, yaitu dengan mata telanjang, dengan kamera DSLR, dan dengan alat fotometri.

“Hadirnya cahaya fajar terjadi secara gradual sehingga pengamatan menggunakan alat akan lebih valid hasilnya,” ungkapnya. (Azizah)

Shares: